AKTUALINFO – Kebijakan larangan impor pakaian bekas kembali ditegaskan—kali ini dengan garis komando fiskal yang lebih rapi di bawah Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa. Intinya sederhana: hentikan arus ilegalnya di hulu (pelabuhan), jangan memukul rata para pedagang di hilir (pasar). Pendekatan ini sudah dinyatakan terang-terangan: razia di pelabuhan, bukan di Pasar Senen dan sejenisnya. Langkahnya tegas, namun arahnya humanis: lindungi industri dan UMKM lokal tanpa menambah beban sosial di lapangan.
Secara regulasi, fondasinya kuat. Paket Permendag 2025 memperketat pintu impor—termasuk Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) melalui Permendag 17/2025, serta pengaturan barang tidak baru melalui Permendag 24/2025. Di sisi fiskal-kepabeanan, Kementerian Keuangan dan Bea Cukai sudah menyelaraskan detail pembatasan lewat keputusan-keputusan menteri terkait daftar barang yang dibatasi untuk diimpor. Ini menutup celah “main belakang” yang selama ini dimanfaatkan jaringan thrifting ilegal.
Dari kacamata perlindungan ekonomi, logikanya kuat. Industri tekstil—dari pabrik benang hingga penjahit rumahan—selalu terpukul bila pasar dibanjiri barang bekas impor murah. Dengan menahan banjir di pelabuhan, peluang produk lokal untuk kembali mengambil napas terbuka: pabrik bisa menjaga utilitas, UMKM fesyen punya ruang harga, dan inovasi bahan serta desain lokal berpeluang naik kelas. Narasi resmi pemerintah juga selaras: memperketat aturan impor pakaian bekas demi melindungi industri TPT dan pelaku usaha domestik.
Namun yang membuat pendekatan “ala Purbaya” relevan adalah pilihan fokusnya: penegakan hukum di hulu. Selama ini, kebijakan baik sering runtuh di eksekusi karena beban sosial ditimpakan ke pedagang kecil di hilir. Dengan memotong alur di pelabuhan, negara menekan mafia impor tanpa menciptakan kegaduhan yang tidak perlu di pasar rakyat. Ini bukan sekadar soal citra; ini tentang efektivitas.
Tentu, tegas saja tidak cukup. Ada tiga langkah pelengkap yang—jika dijalankan konsisten—akan membuat kebijakan ini semakin inklusif:
Transisi usaha yang realistis. Pemerintah daerah bersama dinas koperasi bisa menyiapkan program re-stock legal (produk lokal clearance/overstock), akses permodalan mikro, serta bimbingan pemasaran online agar pedagang thrifting tidak tiba-tiba kehilangan sumber nafkah.
Kurasi “thrifting domestik”. Perdagangan barang bekas dari sumber domestik—hasil donasi, lelang, atau sirkularitas internal—dapat dikembangkan dalam koridor higienitas dan legalitas. Ini menjaga ekosistem sirkular tanpa membuka kran impor ilegal.
Penegakan terukur & transparan. Publikasikan hasil penindakan di pelabuhan (jumlah kontainer, HS code, jalur masuk) agar efek gentarnya menyasar importir nakal, bukan mengguncang pedagang kaki lima. Sejalan dengan paket Permendag 16–24/2025, koordinasi pusat-daerah dan risk management kepabeanan perlu rapi dan mudah diverifikasi publik.
Konteks politik-ekonomi juga mendukung. Sejak dilantik (8 September 2025), Purbaya menegaskan arah kebijakan pro-pertumbuhan yang ditopang disiplin fiskal dan penataan arus barang. Membenahi simpul impor—termasuk menutup praktik pakaian bekas ilegal—adalah bagian dari tugas rumah merapikan pasar domestik agar industri dan UMKM punya panggung yang adil.
Kesimpulannya: “Baju bekas ala Purbaya” adalah pilihan kebijakan yang tepat sasaran: tegas di hulu, protektif pada industri, dan berpeluang humanis di hilir—asal transisinya dijalankan. Dengan fokus razia di pelabuhan, sinkronisasi regulasi Permendag-Bea Cukai, serta pendampingan nyata bagi pedagang kecil, kita bisa menutup pintu untuk impor ilegal tanpa menutup pintu rezeki rakyat. Itu esensi kebijakan publik yang baik: melindungi yang produktif, menertibkan yang merusak, dan tetap merangkul yang rentan. (*)