AKTUALINFO | MAKASSAR — Suara benturan batu dan anak panah busur kembali memecah malam di Kecamatan Tallo. Warga berhamburan menyelamatkan diri, rumah-rumah menjadi tameng, dan rasa takut kembali menutup langit kota. Ini bukan peristiwa baru, tapi kisah lama yang terus berulang. Dan sampai hari ini, belum ada tanda-tanda situasi benar-benar terkendali. Maka wajar bila publik bertanya: apa sebenarnya yang dilakukan polisi dan pemerintah kota?
Kapolrestabes Makassar Kombes Pol Arya Perdana boleh saja bicara soal patroli rutin dan penjagaan di titik rawan. Namun fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya, perang kelompok di Lembo, Layang, dan Kandea terus terjadi bahkan setelah deklarasi damai. Pos penjagaan berdiri, tapi ketegasan tak tampak. Jika seorang Kapolrestabes tak mampu menegakkan keamanan di wilayah dengan pola konflik yang sudah berulang selama bertahun-tahun, lebih baik mundur daripada terus mempertontonkan kegagalan.
Wali Kota Makassar Munafri Arifuddin juga tidak bisa lepas tangan. Ia memang sempat turun ke lapangan pada 23 September 2025, bertemu aparat dan tokoh masyarakat, berjanji mencari solusi damai. Tapi setelah itu? Tidak ada tindak lanjut yang nyata. Konflik tetap berulang, korban tetap berjatuhan. Warga tidak butuh seremonial kunjungan, mereka butuh kebijakan yang mengubah akar masalah: kemiskinan, pengangguran, dan hilangnya ruang pembinaan bagi anak muda di lorong-lorong Tallo.
Situasi ini memperlihatkan bahwa aparat dan pemerintah seakan sudah terbiasa dengan kekacauan. Setiap kali tawuran pecah, polisi datang setelah korban muncul. Setelah itu, semua kembali diam — hingga perang berikutnya. Pola reaktif semacam ini menunjukkan bahwa keamanan hanya dijalankan sebagai rutinitas, bukan tanggung jawab. Dan selama penegakan hukum masih separuh hati, masyarakat akan terus menjadi korban ketidakseriusan aparat.
Tallo bukan wilayah tak bertuan. Polisi tahu siapa yang memprovokasi, siapa yang membuat busur, siapa yang menyimpan amunisi di rumah-rumah warga. Tapi anehnya, penegakan hukum tidak pernah tuntas. Penangkapan hanya dilakukan sesaat setelah bentrok, tanpa menyentuh aktor pengendali di balik layar. Inilah sebab mengapa konflik tak pernah padam — karena hukum hanya tajam ke bawah, tumpul ke arah sumber masalah yang sebenarnya.
Lebih menyakitkan lagi, pemerintah kota justru sibuk dengan agenda promosi dan proyek wajah kota. Mereka membangun taman dan menata jalan utama, tapi menutup mata terhadap lorong-lorong yang setiap malam berubah jadi medan perang. Apa gunanya kota indah kalau warganya tak bisa tidur tenang? Makassar bisa terlihat maju di brosur pariwisata, tapi di Tallo, setiap sudut menjadi saksi bahwa rasa aman kini menjadi barang langka.
Sudah cukup janji dan deklarasi damai yang tak berarti. Sudah cukup pertemuan tanpa hasil. Kapolrestabes dan Wali Kota Makassar harus berani bertanggung jawab secara moral dan politik. Jika dalam waktu dekat tak ada perubahan nyata di Tallo, lebih baik mereka meletakkan jabatan. Jabatan bukan kehormatan bila nyawa warga terus menjadi taruhan. (**)