BerandaNEWSNASIONALJaga Warisan Leluhur, Sejumlah Tokoh Toraja Dorong Penyelesaian Sengketa Tongkonan Secara Adat...

Jaga Warisan Leluhur, Sejumlah Tokoh Toraja Dorong Penyelesaian Sengketa Tongkonan Secara Adat dan Musyawarah

AKTUALINFO | JAKARTA — Sejumlah tokoh dan pemerhati budaya Toraja menggelar pertemuan di Arum Resto & Café, Mahakam, Jakarta, Rabu (29/10/2025). Pertemuan dilakukan untuk membahas fenomena yang tengah menjadi perhatian publik, yakni maraknya eksekusi tongkonan atau rumah adat Toraja yang selama ini menjadi simbol persatuan keluarga dan identitas budaya leluhur. Pertemuan ini diprakarsai oleh Ikatan Keluarga Toraja Nusantara (IkaTNus) sebagai bentuk kepedulian terhadap pelestarian nilai-nilai adat di tengah perubahan zaman.

Untuk diketahui, fenomena eksekusi tongkonan di Toraja beberapa waktu terakhir menimbulkan keprihatinan mendalam di kalangan masyarakat. Bukan hanya karena nilai sejarah dan budaya yang terkandung di dalamnya, tetapi juga karena tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial dan spiritual bagi setiap keluarga besar Toraja. Pembongkaran atau sengketa terhadap tongkonan dianggap bukan sekadar persoalan kepemilikan, tetapi persoalan identitas dan kehormatan adat.

Diskusi soal persoalan eksekusi Tongkonan yang digelar sejumlah tokoh Toraja dan IKatNus dilaksanakan di Jakarta untuk mencari solusi persoalan tersebut

Dalam pertemuan tersebut, hadir sejumlah tokoh seperti Ketua Umum IKaTNus Irjen Pol (P) Drs Frederik kalalembang, Boby Sangka, Marthen Pongrekun, Irjen Pol (P) Drs Mathius Salempang (hadir via Zoom), April Bulo, Jonatan Pasodung, Edward Tanari, Amos Sirappa, Marcelius Rantetana, Jansen Tangketasik (hadir via Zoom), Rawenna Battik, Milki Sidik, dan Bartho Tangdibali. Mereka sepakat bahwa penyelesaian setiap sengketa tongkonan harus mengedepankan asas musyawarah, keadilan restoratif, dan penghormatan terhadap hukum adat.

Tokoh Toraja David Allorerung yang hadir dalam pertemuan menilai, maraknya sengketa tongkonan adalah gejala perubahan nilai sosial yang harus segera diantisipasi bersama. Ia mengungkapkan bahwa dalam tradisi Toraja, tongkonan sejatinya tidak pernah menjadi sumber perselisihan. Dulu, setiap keluarga memahami perannya dalam menjaga rumah leluhur yang diwariskan turun-temurun. Namun kini, banyak persoalan muncul secara tiba-tiba tanpa proses musyawarah yang jelas, dan masyarakat baru mengetahui saat eksekusi akan dilaksanakan.

Ketua Umum IKatNus Irjen Pol (P) Drs Frederik Kalalembang (kiri), Marthen Pongrekun (tengah), dan David Allorerung (kanan) saat berdiskusi mencari solusi elegan terkait masalah eksekusi Tongkonan

“Dulu tidak pernah ada ribut soal tongkonan. Tapi sekarang, tiba-tiba ada kasus, lalu langsung dieksekusi. Padahal tongkonan adalah rumah musyawarah, bukan obyek sengketa. Ada faktor ekonomi, ada perubahan cara pandang, dan ada hilangnya komunikasi antar ahli waris. Ini yang perlu kita benahi,” ujarnya.

David menekankan pentingnya mencari akar persoalan sebelum mengambil tindakan hukum. Menurutnya, penyelesaian seharusnya mengedepankan pendekatan adat dan kekeluargaan. Jika pun eksekusi harus dilakukan karena alasan hukum, maka caranya harus tetap elegan, manusiawi, dan menghormati nilai budaya. “Sebelum ada tindakan eksekusi, harus ada solusi. Kalau pun tidak bisa dihindari, jangan dilakukan dengan alat berat atau kekerasan, tapi dengan dialog dan pendampingan pemerintah,” tuturnya.

Sementara itu, Ketua Umum IkaTNus yang juga Anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrat, Irjen Pol (P) Drs. Frederik Kalalembang, menegaskan bahwa tongkonan bukan hanya bagian dari sejarah, melainkan juga jantung kehidupan orang Toraja. Karena itu, penyelesaian setiap sengketa yang menyangkut tongkonan harus dilakukan dengan kearifan lokal dengan mengedepankan musyawarah.

“Kita tidak boleh membiarkan rumah adat yang menjadi lambang persatuan keluarga dibongkar dengan eskavator yang tentunya melukai martabat budaya. Kalau pun ada keputusan hukum, hendaknya dilaksanakan dengan cara yang elegan dan bermartabat dengan melibatkan pemerintah setempat atau Satpol PP, tanpa harus pakai alat berat,” ujarnya.

Frederik mengungkapkan bahwa IkaTNus bersama sejumlah tokoh Toraja akan membentuk kombongan, sebuah panitia kecil yang bertugas menjalin komunikasi dengan pemerintah daerah, forkopimda, tokoh adat, dan tokoh agama. Tujuannya adalah mencari solusi bersama agar peristiwa serupa tidak terulang, sekaligus memperkuat peran lembaga adat sebagai garda pertama penyelesaian konflik terkait dengan sengketa tongkonan.

Ia menjelaskan, masyarakat Toraja memiliki 32 wilayah adat yang diatur dalam sistem Tondok Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo, masing-masing dipimpin oleh tokoh adat yang disebut To Parengge’. Dalam struktur sosial Toraja, To Parengge’ memegang peran penting sebagai penengah sengketa dan penjaga keseimbangan dalam keluarga besar adat. “Struktur ini sudah ada sejak ratusan tahun lalu, dan seharusnya menjadi rujukan utama sebelum sebuah kasus dibawa ke pengadilan,” kata Frederik.

Selain itu, Frederik juga menegaskan perlunya memahami perbedaan tingkatan tongkonan di Toraja. Ada Tongkonan Layuk yang berfungsi sebagai pusat adat dan pemerintahan tradisional, Tongkonan Pekamberan sebagai tempat musyawarah dan kegiatan adat keluarga besar, serta Tongkonan Batu A’riri yang merupakan rumah keluarga keturunan langsung. Pemahaman terhadap fungsi-fungsi ini, sangatlah penting agar masyarakat tidak sembarangan memperlakukan atau memutuskan nasib rumah adat Tongkonan.

Frederik menambahkan bahwa pada bulan Desember 2025 mendatang, IkaTNus berencana menggelar pertemuan besar di Toraja bersama Forkopimda, tokoh adat, tokoh agama, dan pemerintah daerah untuk membahas penanganan dan pencegahan sengketa tongkonan. Forum ini diharapkan menjadi ruang bagi semua pihak untuk menyusun langkah bersama dalam menjaga kelestarian rumah adat dan memperkuat fungsi lembaga adat dalam penyelesaian masalah sosial.

“Yang kita harapkan bukan sekadar menghindari eksekusi, tetapi bagaimana kita bisa mengembalikan semangat kebersamaan dalam budaya Toraja. Setiap tongkonan menyimpan sejarah, silsilah, dan doa. Ia tidak boleh menjadi korban kepentingan sesaat,” ujarnya.

Pertemuan di Mahakam itu ditutup dengan kesepahaman bahwa menjaga tongkonan sama artinya dengan menjaga jati diri orang Toraja. Setiap langkah penyelesaian harus dilakukan dengan kepala dingin, penuh penghormatan, dan semangat musyawarah.

“Kalau darah Toraja masih mengalir dalam diri kita, maka kita wajib menjaga tongkonan dengan hati, bukan dengan amarah. Persoalan sebesar apa pun bisa diselesaikan bila kita mau duduk bersama. Sebab tongkonan bukan sekadar rumah kayu, melainkan rumah jiwa, tempat persaudaraan itu tumbuh dan diwariskan untuk selama-lamanya,” tutup Frederik. (*)

RELATED ARTICLES

POPULER