AKTUALINFO, Pantai Losari sejak lama menjadi kebanggaan warga Makassar. Di sana orang datang untuk menikmati senja, mencicipi pisang epe, atau sekadar berbincang sambil menatap laut yang tenang. Namun belakangan, suasana itu kian pudar. Losari kini bukan lagi tempat yang nyaman untuk bersantai. Di balik keindahan langit jingga, pengunjung justru dihadapkan pada persoalan klasik yang tak kunjung selesai: parkir semrawut dan pengamen yang kian tak terkendali.
Di setiap sudut anjungan, tampak juru parkir liar beraksi bebas, memungut bayaran seenaknya dari pengunjung. Padahal kawasan itu telah dinyatakan sebagai area parkir gratis oleh pemerintah kota. Namun, realitas di lapangan berbeda jauh. Banyak warga mengaku tetap diminta uang parkir, bahkan kadang disertai nada memaksa. Situasi seperti ini membuat Losari kehilangan citra sebagai ruang publik yang tertib dan ramah. Orang datang untuk tenang, bukan untuk berdebat soal uang parkir yang tak seberapa nilainya tetapi mencerminkan buruknya pengawasan.
Belum selesai soal parkir, pengunjung juga harus menghadapi pengamen yang kerap datang bergantian, bahkan mendekat hingga ke meja makan atau tempat duduk. Bagi sebagian orang, musik jalanan bisa menjadi warna kota. Namun ketika pengamen datang tanpa henti, dengan nada memaksa dan mengganggu ketenangan, hiburan itu berubah menjadi beban. Bukan sedikit pengunjung yang akhirnya memilih pergi, bukan karena Losari tak lagi indah, melainkan karena suasananya yang melelahkan.
Dua hal ini sebenarnya bukan persoalan besar jika dikelola dengan baik. Pemerintah kota cukup tegas dan konsisten menertibkan parkir liar serta menata ruang bagi pengamen agar tak mengganggu pengunjung. Tapi ketegasan itu seolah musiman — muncul saat viral, lalu hilang begitu sorotan mereda. Padahal, Losari bukan sekadar kawasan wisata. Ia adalah wajah kota Makassar, simbol keteraturan dan kebanggaan masyarakat. Ketika Losari tampak kacau, citra kota pun ikut tercoreng.
Masyarakat kini mulai malas datang. Banyak yang memilih nongkrong di kafe atau destinasi lain yang lebih teratur dan nyaman. Ini sinyal bahaya bagi pariwisata kota. Jika ruang publik saja tidak bisa dikelola dengan baik, bagaimana Makassar bisa bermimpi menjadi kota metropolitan yang berkelas dunia?
Sudah waktunya pemerintah kota tidak hanya bicara tentang penataan, tapi benar-benar menata. Losari harus dikembalikan kepada rakyat — sebagai tempat rekreasi yang gratis, tertib, dan menyenangkan. Karena yang hilang dari Losari bukan hanya pemandangan lautnya yang bersih, tetapi rasa tenang yang dulu menjadi alasan orang datang ke sana. (***)