BerandaNEWSNASIONALSoal Guyonan Pandji, Frederik Kalalembang: Harkat Orang Toraja Tak Layak Dijadikan Candaan

Soal Guyonan Pandji, Frederik Kalalembang: Harkat Orang Toraja Tak Layak Dijadikan Candaan

AKTUALINFO | JAKARTA — Sebuah video lawas penampilan Pandji Pragiwaksono dalam pertunjukan stand up comedy kembali viral di berbagai platform media sosial. Dalam video tersebut, Pandji menyinggung tradisi masyarakat Toraja, khususnya kebiasaan jenazah yang tidak langsung dimakamkan, melainkan disemayamkan sementara di rumah hingga tiba waktu pelaksanaan upacara Rambu Solo.

Potongan itu menimbulkan reaksi beragam di tengah masyarakat. Banyak yang menilai penyampaian Pandji cenderung menyinggung nilai-nilai budaya Toraja yang dianggap sakral dan penuh makna, karena disampaikan tanpa pemahaman yang cukup mengenai konteks adat tersebut.

Salah satu yang memberikan tanggapan ialah Ketua Umum Ikatan Keluarga Toraja Nusantara (IkaTNus), Irjen Pol (Purn) Drs. Frederik Kalalembang, yang juga anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrat. Ia menyayangkan bila benar video tersebut memang berasal dari Pandji, karena dapat mencederai kehormatan adat dan martabat orang Toraja.

“Kalau benar video tersebut, sangat disayangkan, karena bisa merembet ke mana-mana. Apalagi dijadikan guyonan atau olok-olokan. Kita tunggu saja keterangan resmi dari yang bersangkutan,” ujar Frederik, Minggu (2/11/2025).

Lebih lanjut, Frederik mengatakan pihaknya berencana mengundang Pandji untuk memberikan klarifikasi secara langsung, agar duduk persoalan ini dapat dipahami dengan benar dan tidak menimbulkan salah tafsir di kalangan masyarakat luas.

“Rencananya saya akan mengundang yang bersangkutan untuk klarifikasi apa sebenarnya yang dimaksud, supaya tidak salah penafsiran bagi orang yang awam. Tidak ada orang Toraja menjadi miskin karena menghargai leluhurnya dan memegang teguh adat,” tegas Frederik.

Menurutnya, tradisi Rambu Solo yang dimaknai Pandji dalam video tersebut justru merupakan salah satu bentuk tertinggi penghormatan terhadap keluarga dan leluhur. Menyimpan jenazah di rumah sementara waktu bukanlah tindakan aneh atau mistis, melainkan simbol cinta, kesetiaan, dan penghargaan terhadap orang tua yang telah mendahului.

“Kalau dikatakan horor, itu karena melihat sepihak. Apakah orang tua kita yang ada di rumah menantikan acara pelepasan harus ditakuti? Tentu tidak. Justru dalam kepercayaan kami, menghormati leluhur akan mendatangkan berkat, sebaliknya bila dibiarkan begitu saja bisa mendatangkan murka,” jelasnya.

Frederik menambahkan, adat Toraja mengajarkan kebijaksanaan dan kesabaran dalam memaknai kepergian seseorang. Proses pemakaman yang ditunda bukan tanpa alasan, melainkan agar seluruh anggota keluarga dapat berkumpul lengkap , termasuk mereka yang datang dari luar negeri atau daerah lain, yang kini telah berhasil dan ingin memberikan penghormatan terakhir kepada orang tua atau leluhurnya.

Momen itulah yang kemudian menjadi ruang pertemuan keluarga besar, yang mungkin telah lama terpisah oleh jarak dan waktu. Melalui upacara Rambu Solo’, mereka dipertemukan kembali dalam ikatan kasih, doa, dan penghormatan yang mendalam.

Dengan cara itu, perpisahan terakhir tidak hanya menjadi upacara duka, tetapi juga wujud kebersamaan yang sarat makna dan doa.

“Itu bukan soal kemewahan, tapi tanda cinta kasih tentang penghormatan dari anak dan cucunya yang telah berhasil selama ini. Kami tidak ingin melepas orang tua kami dengan tergesa-gesa. Semua dilakukan dengan hormat dan kasih,” ujarnya.

Frederik menegaskan, masyarakat Toraja tidak pernah miskin karena adatnya. Sebaliknya, banyak yang berhasil karena berpegang pada nilai-nilai luhur dan rasa hormat terhadap keluarga.

“Bagi kami, menghormati leluhur bukan beban, tapi kehormatan. Adat Toraja adalah warisan yang menjaga hubungan antara yang hidup dan yang telah pergi dalam bingkai kasih yang tidak putus,” pungkasnya.

Frederik berharap agar persoalan ini dapat diselesaikan dengan kepala dingin dan hati terbuka. Ia menilai klarifikasi langsung dari Pandji akan menjadi langkah penting agar publik memahami duduk perkara dengan jernih, sekaligus menjadi pelajaran bahwa budaya, bagaimanapun uniknya, patut disikapi dengan penghormatan dan empati.

“Setiap budaya memiliki makna yang dalam. Hendaknya kita berhati-hati dalam menafsirkan, apalagi menjadikannya bahan pembicaraan di ruang publik. Mari kita saling memahami, karena di balik adat, selalu ada nilai kemanusiaan yang luhur,” tutup Frederik Kalalembang. (**/rls)

RELATED ARTICLES

POPULER